Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia
Menganalisis Cerpen
Dosen pengampu : Titik Dwi Ramthi, M.Pd.
disusun oleh :
Ayu Rosmini
150388201032
H-01
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Maritim Raja Ali Haji
2015
Lampiran 1 :
Naskah Cerpen " AYAH PULANG " karya Ratna Indraswari Ibrahim.
“ Ayah Pulang
“ Karya Ratna
Indraswari Ibrahim.
Mak Yem meneleponku
malam ini, “Tadi siang, Ayah kena serangan jantung lagi, sekarang dirawat di
rumah sakit. Nana, sebaiknya kau pulang, tengok ayahmu.”
“Saya besok masih ada
pekerjaan, mengapa tidak Yu Ning saja?”
“Mbakmu bilang, Naya
(anaknya) sebulan lagi akan ikut ujian SMP. Jadi, dia akan mengirimi kamu uang,
agar bisa pulang melihat ayahmu.”
“Bagaimana sakitnya,
apa cukup parah?”
“Mbak Nana, tanyakan
hal itu ke dokter Hariadi.”
Ketika telepon dari
Mak Yem ditutup, ponselku berdering dari Yu Ning, “Aku sudah mengirim uang
untuk tiket pesawat ke rekeningmu. Cek saja dulu. Bilang pada Ayah, aku akan
datang setelah Naya selesai ujian.”
“Mbak, aku besok ada
presentasi, mengapa tidak sampeyan saja?”
“Sudah kubilang aku
mesti menunggui Naya. Butikku besok akan didatangi pelanggan kami dari
Malaysia. Sekarang, carilah tiket untuk keberangkatanmu, besok pagi.”
Aku benci mendengar
ucapan Yu Ning, dia selalu bisa menyuruhku apa saja. Itu dilakukan sejak kami
masih kecil. (Ibu meninggal sejak kami masih sangat kecil). Yu Ning, yang jarak
usianya 10 tahun di atasku, diberi keleluasaan oleh ayah, untuk mengatur semua
hidupku. Kalau menurut Yu Ning aku harus begitu, aku tidak boleh membantah. Yu
Ning jadi narasumber hidupku. Hanya dibantu dengan Mak Yem, dia mengatur segala
urusan rumah tangga kami. Aku selalu benci terhadap apa saja yang dia punyai.
Yang aku banggakan, cuma tinggi badanku yang lebih darinya. Hanya itu memang!
Di sisi lain, aku sekarang cuma dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang
bukan unggulan. Begitu pula suamiku, Haryo, teman sejawat di perguruan tinggi
swasta ini.
Bisa dibayangkan, kami
tidak punya hak istimewa di kota metropolis, Jakarta. Pernah suatu kali, Yu
Ning sekeluarga mengajak kami ke Singapura. Tetapi, aku tidak nyaman. Karena
mereka menganggap, susah bepergian dengan perempuan dusun, yang tidak tahu
bagaimana caranya berada di sebuah kota metropolis, Singapura.
Sungguh, sejak dulu
aku merasa, Ayah lebih mencintai Yu Ning, sekalipun Ayah selalu bilang, “Kalian
berdua adalah harta yang tak ternilai bagiku. Aku kasihan dengan Mbakmu, sejak
kecil harus berperan sebagai ibu kita.”
Aku sekali lagi benci
dengan ucapan Ayah. Aku kira baik Yu Ning maupun aku, punya kesempatan yang
sama, untuk belajar, bermain, bahkan kurasa Yu Ning lebih punya kesempatan
untuk jalan-jalan dengan pacarnya. Sedangkan diriku, mereka menganggap
terlampau muda untuk memahami, siapa lelaki yang musang berbulu domba.
Sedang Yu Ning bisa
berlena-lena dengan pacarnya sampai larut malam. Sering aku merasa Upik Abu,
yang diasuh ibu tiri. Tapi, semuanya memang berjalan seperti direncanakan
mereka. Setelah lulus dari fakultas teknik arsitektur, Yu Ning menikah dengan
dr Tomo. Selang beberapa tahun bekerja di perusahaan asing, Yu Ning membuka
butik yang lumayan laku. Aku memang jadi orang yang pas-pasan saja. Karena
memang aku dan Haryo, tidak memiliki keterampilan berbisnis. Padahal, Yu Ning
sudah menganjurkan Haryo, untuk berbisnis. Hal itu pernah kami lakukan,
jangankan menjadi besar, modal yang dipinjamkan Yu Ning, tidak bisa kembali.
Sampai sekarang, aku masih berutang sekian juta kepada Yu Ning. Untungnya
sampai tahun kedua pernikahan, kami belum dikaruniai anak. Kalau kami punya
anak, kami akan semakin repot. Karena Yu Ning bilang, punya anak harus punya
uang sekian juta untuk baby sitter yang pintar, susu, dan lain-lainnya. Aku
merasa tidak bisa membiayai semua itu. Namun, Haryo bilang, “Kita tidak perlu khawatir,
setiap anak punya rezeki sendiri. Apakah tidak sebaiknya sekarang saja kita
periksakan diri ke dokter demi seorang bayi, yang kita impikan bersama….”
Aku selalu gamang
untuk pergi ke dokter spesialis kandungan.
Tiba-tiba ada telepon
lagi dari Mak Yem. “Nana, hatiku kok tidak enak, apakah kau besok bisa pulang?
Sekalipun, ayahmu sudah ketiga kalinya dalam tahun ini, masuk rumah sakit.”
Nada suara Mak Yem,
sepertinya, aku ini anak yang tidak bisa berbakti. Yah, sampai jam ini aku
belum juga mencari tiket untuk pesawat. Padahal, travel pasti sudah tutup jam
sembilan malam ini. Seperti yang aku duga, untuk penerbangan paling pagi sudah
habis semua. Yang ada dari salah satu biro perjalanan, tiket penerbangan untuk
yang paling malam. Aku harus mempertimbangkan secepatnya, karena ada banyak
peminat untuk pulang ke Malang, tidak melewati daerah Sidoarjo, yang penuh
lumpur Lapindo itu. Aku tidak punya pilihan lain. Aku SMS saja Yu Ning, aku
katakan, cuma dapat tiket pesawat dengan penerbangan paling akhir. Yu Ning
segera meneleponku, “Sudah kukatakan, mengapa tidak menghubungi biro travel
langgananku, pasti kau dapatkan tiket itu. Aku mengkhawatirkan Ayah. Oya, aku
sudah transfer ke ATM-mu lagi, uang untuk biaya pengobatan Ayah. Coba kamu
hubungi lagi biro perjalanan langgananku itu. Bilang yang pesan tiket ini ibu
Ning Tomo.”
Dengan malas kuhubungi
biro travel langganan Yu Ning. Entah mengapa aku tidak kecewa. Karena yang
tinggal cuma satu tiket penerbangan malam. Itu pun dengan harga yang sangat
mahal. Sekali lagi aku SMS Yu Ning, dia tidak menjawab. Pasti dia sangat marah.
Kalau bertemu Ayah, dia pasti akan bilang begini, “Nana lambat dalam segala
hal. Padahal apa sih kerjanya. Masak mengajar saja menghabiskan waktu.
Paling-paling sehari cuma dua jam.”
Urusan tiket selesai.
Aku mencoba menghubungi ketua jurusan. Dia menganjurkan untuk tidak terlampau
lama mengambil cuti, karena akan ada pergantian rektor dalam minggu-minggu ini.
Setelah menata barang-barangku di koper, aku mencoba tidur. Haryo, di sebelahku
sudah tidur sekian jam yang lampau. Tiba-tiba aku merasa marah, sepertinya
tidak ada seorang pun yang mau menolongku pada saat ini. Sudah hampir jam satu
malam, ketakutan menyerangku, aku ingin menelepon ke rumah, tapi, kupastikan
Mak Yem sedang menunggu Ayah di rumah sakit. Tiba-tiba, aku merasa bersalah,
ini sebuah egoisme. Aku dan Yu Ning mengejar karier dan selalu lupa kalau masih
punya ayah yang harus kami perhatikan. Selalu lupa menelepon beliau hanya untuk
mengucapkan, “Hallo”. Padahal, sebelum keberangkatanku ke Jakarta, Ayah bilang,
“Kalian berdua memilih karier di Jakarta. Tak seorang pun memang ingin bersama
laki-laki tua sepertiku. Aku tahu tidak ada yang harus disalahkan, setiap anak
pasti mencari sarangnya yang baru. Tapi, sesekali teleponlah aku. Itu sudah
lebih dari cukup.”
Waktu itu, aku
menangis. Tapi, kemudian kesibukan kerjaku, kesibukanku berkumpul dengan
teman-teman, jalan-jalan, dan banyak hal lain yang membuat aku hampir tidak
punya waktu untuk berkata, “Hallo”, pada Ayah. Itu bisa dilakukan oleh Yu Ning
terhadap Ayah. Aku tidak tahu, sepertinya Yu Ning punya waktu lebih dari 24
jam. Dan sering sekali Yu Ning mengingatkan aku untuk menelepon Ayah. Aku
selalu malas untuk berdebat. Jadi, kukatakan saja aku sudah menelepon Ayah.
Karena aku begitu yakin, kalau ditanyakan ke Ayah, ia pasti akan mengiyakan
omonganku. Kadang-kadang memang Ayah melindungi aku dari kebesaran Yu Ning.
Bisa jadi, beliau kasihan pada si bungsu yang ketemu dengan ibunya hanya di
tahun pertama dalam kehidupannya. Dan tentang Ibu, aku tidak pernah
mendengarkan ceritanya dari Ayah. Mak Yem yang sering bercerita, bahwa sejak
kecil memang Ibu sering sakit-sakitan. Ayah sangat mencintainya, lebih dari
itu, Ibu lebih mirip Yu Ning daripada aku. Waktu kecil, kalau aku sedih, sering
kali tanpa sebab yang jelas, menangis di muka foto Ibu. Aku merasa kalau beliau
masih hidup, kita bisa menjadi teman yang baik. Bagaimana hubunganku dengan
Ayah? Dia dosen sejarah, pintar, persis seperti Yu Ning. Yu Ning, mengambil
semuanya dari sisi Ayah, tanpa sisa.
Aku memang harus
pulang besok. Bukan untuk diriku sendiri, tapi juga untuk sebuah kewajiban
sosial keluarga, yang aku tahu tidak terlampau kusukai. Aku selalu merasa
sedih, kalau Ayah dirawat di rumah sakit. Aku merasa bersalah. Sering sekali
aku menangis untuk semua kesalahanku itu. Aku selalu bilang pada Haryo,
“Bagaimana caranya menjadi anak yang baik untuk seorang ayah?” Haryo selalu
bilang, “Kita tidak tahu dengan tepat, kau sendiri pernah bilang kalau tidak
begitu dekat dengan beliau. Barangkali ini yang paling baik, menjaga beliau di
rumah sakit dan menuruti semua kemauannya.”
Aku menganggukkan
kepala. Kalau sakit, Ayah bukan seorang yang mudah, cerewetnya luar biasa! Tapi
aneh, kalau Yu Ning yang merawatnya, Ayah bisa menjadi anak yang manis dan
tidak pernah marah. Berkali-kali beliau akan berkata baik kepada perawat maupun
dokter, “Anakku pebisnis perempuan, tapi masih punya waktu untukku.” Dan
untukku, perkataan itu tidak pernah disebut-sebutnya. Sekalipun, aku telah
berusaha menjadi seorang anak yang baik di depannya. Barangkali, dia menyangka
aku toh setengah pengangguran yang tidak punya banyak kerja. Lebih banyak
menghabiskan waktu dengan ngobrol yang tidak berguna. Tentu saja aku tidak
menyukai kata-kata itu. Kadang-kadang, aku merasa sangat dikecilkan oleh hal
itu. Tersakiti entah di mana.
Seharusnya aku
berpikir jernih saja, aku tidak harus merasa begitu. Mereka tetap tidak akan
bermaksud jahat, bukankah mereka berdua keluarga dekatku, Ayah dan Yu Ning.
Sering sekali aku merenungkan itu bahkan, aku pernah bertanya dengan seorang
sahabatku yang psikolog. Tapi, jawabannya tidak memberi solusi yang memuaskan.
Aku tetap merasa bahwa aku dan Yu Ning akan selalu beda prinsip. Sebetulnya aku
cuma kasihan sama Ayah, seandainya Ayah tidak dirawat di rumah sakit, aku tidak
ingin pulang. Apakah ini sebuah keegoisan, ketika aku merasa lebih nyaman tidak
bersama mereka. Tapi dengan pekerjaanku, dengan Haryo, dengan teman-teman yang
menurut Yu Ning tidak menghasilkan apa-apa, kecuali menghabiskan waktu. Dan
siapa pun tahu, Ayah yang pensiunan dosen itu, biaya hidupnya ditanggung oleh
Yu Ning. Sekalipun, aku juga suka membelikan Ayah sebuah kemeja yang cantik dan
buku-buku biografi yang disukainya, atau mengobrol lebih lama tentang buku-buku
itu di telepon. Bahwa, aku yang lebih banyak membelikan buku, karena
kelihatannya Yu Ning tidak merasa perlu membaca biografi. Sedangkan yang
pensiunan dosen sejarah itu, masih suka membaca hal-hal, yang menurut Yu Ning,
tidak ada sangkut pautnya dengan dinamika bisnis hari ini.
Yah memang, sekalipun
kami sama-sama di Jakarta, kami jarang bertemu. Sekali-kali, Yu Ning mengajakku
ke restoran. Namun, aku selalu merasa tidak nyaman, tapi sejak kecil aku tidak
bisa menolaknya. Haryo-lah yang dengan senang hati menerima undangan Yu Ning.
Ia bisa meladeni omongan Yu Ning yang menurut perasaanku sangat sombong (dia
selalu menceritakan suksesnya). Hal itu sudah sering kukatakan pada Haryo, tapi
Haryo dengan enteng menjawab, “Kamu sih, tidak mempunyai sense of humor, kalau
kamu punya, pasti cerita Yu Ning, lucu.”
Aku pasti tidak
sepaham dengan ucapannya. Bisa jadi, aku lebih bisa ngomong dengan Mas Tomo
kakak iparku yang pendiam.
Namun, betapa
jengkelnya aku, kadang-kadang kangen juga kepada Yu Ning. Sering aku ingat,
bagaimana, dia merawatku dengan telaten ketika aku kena tipus, memasukkan aku,
ke rumah sakit yang mahal di kota ini. Dan kata Mas Tomo, “Yu Ning panik ketika
kau sakit.”
Kadang-kadang, aku
juga mengeluh tentang kesombongan Yu Ning pada Ayah, beliau bilang, “Kau pasti
tahu, sebagai dosen sejarah, aku tidak akan pernah mendidik anak-anakku, dengan
perasaan sombong. Kalau Yu Ning menjadi begitu, karena aku memberinya tanggung
jawab yang sangat luar biasa, untuk seorang gadis kecil. Jadinya, dia memang sedikit
superior.”
Sesungguhnya, aku dan
Yu Ning lebih ingin Ayah pindah ke Jakarta. Tapi, beliau cuma betah tiga hari
di rumahku. Dan, tiga hari di rumah Yu Ning, yang sebetulnya penuh fasilitas.
Ayah selalu lebih merindukan tanamannya, teman main tenisnya, dan beliau
mengatakan, “Rumah adalah istanaku.”
Aku sering berpikir,
apakah Ayah tidak betah karena rumahku cuma BTN yang jauh dari pusat kota.
Untuk hal ini, Ayah menyangkal keras, beliau bilang, “Kalau kau setua aku, baru
kau bisa merasakan betapa tidak enaknya menginap di rumah orang lain, sekalipun
rumah itu, rumah anakku. Aku juga tidak betah di rumah Yu Ning, yang mewah itu!
Tapi, aku sendiri heran, aku merasa lebih nyaman kalau menginap di rumah
adik-adikku.”
Tiba-tiba, aku merasa
bersalah. Ayah sendirian dikala sakit. Seharusnya, aku dan Yu Ning berada di
sisinya pada saat ini. Aku seperti anak durhaka, dan aku menangis keras. Haryo
terbangun, “Kita bukan si Malin Kundang, Ayah pasti tahu kalau kau dan Yu Ning,
sebaik-baiknya anak, maka pulanglah dan rawatlah beliau, sekalipun kau sering
bilang, Ayah, kalau sakit, cerewetnya luar biasa.”
Sekarang sudah hampir
subuh, besok malam aku harus ketemu Ayah. Ketika aku sudah berdiri di depan
tempat tidurnya, Ayah berbisik, “Nana, aku senang kau bisa pulang.”
Beliau kelihatan
senang, padahal aku pulang tidak dengan Yu Ning (anak kesayangannya). Aku
merasakan keganjilan itu. Aku menelepon, Yu Ning!
Besoknya, kami sudah
berdiri di muka Ayah. Beliau membuka matanya pelan-pelan, “Kamu datang berdua?
Aku suka kalau kalian berdua bisa datang bersama selalu.”
Ayah, tersenyum.
Tiga hari setelah itu,
Ayah meninggalkan kami berdua!
(Malang, 26 Januari
2007)
Lampiran 2 :
Analisis Cerpen :
1. Tema : Seorang anak yang diatur oleh kakaknya.
“ sudah kubilang aku mesti menunggui Naya.
Butikku besok akan didatangi pelanggan kami dari Malaysia. Sekarang, carilah
tiket untuk keberangkatanmu,besok pagi “.Aku benci mendengar ucapan Yu ning,dia selalu
bisa menyuruhku apa saja. Itu dilakukan sejak kami masih kecil.
2. Penokohan :
a. Nana : suka iri,penurut.
Nana merupakan seorang wanita yang
memiliki sifat yang agak suka iri terhadap kakaknya. Dapat dilihat didalam
beberapa kutipan dialognya antara lain seperti “ sungguh,sejak dulu aku merasa ayah lebih mencintai Yu ning. Sekalipun ayah selalu bilang,” kalian berdua
adalah harta yang tak tenilai bagiku. Aku kasihan dengan mbakmu,sejak kecil
harus berperan sebagai ibu kita”.
b. Yu Ning : baik,suka mengatur,sombong.
Yu ning adalah kakak Nana. Ia selaludiberi kepercayaan ayahnya untuk mengurus keperluan Nana. Sampai suatu hari
Nana pernah berkata kepada ayahnya bahwa Yu ning adalah kakaknya yang sangat
sombong karena diberi kepercayaan penuh untuk merawat Nana sampai Nana tidak
diberi keluar sama sekali oleh ayahnya. Ini dapat dilihat dari kutipan dialog
yaitu “ sudah kukatakan,mengapa tidak menghubungi biro travel langgananku,pasti kau dapatkan tiket itu. Aku mengkhawatirkan ayah. Oya, aku sudah transfer
ke-ATM mu lagi,uang untuk biaya pengobatan ayah. Coba kamu hubungi lagi biro
perjalanan langgananku itu. Bilang yang pesan tiket ini ibu Ning Tomo”.
c. Ayah : baik,wibawa.
Ayah memiliki sifat yang bijaksana dan
bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban terhadap anak-anaknya. Meskipun ia ditinggalkan istrinya karena telah meninggal dunia tapi ia masih bisa memberikan kewajiban kepada Yu ning yaitu merawat dan menjaga Nana karena Nana
adalah anak bungsunya. Tetapi ayah juga memiliki sikap pilih kasih karena ayah
lebih membenarkan Yu ning dari pada Nana hal ini dapat dilihat dalam kutipan
dialog Nana yaitu “ kurasa Yu ning lebih punya kesempatan untuk jalan-jalan
dengan pacarnya. Sedangkan diriku,mereka menganggap terlampau muda untuk
memahami,siapa lelaki yang musang berbulu domba”.
d. Mak Yem : baik.
Mak Yem adalah
pembantu yang menjaga ayah ketika sakit dan ia memiliki sifat yang sangat baik.
Hal ini dapat dijelaskan dalam salah satu kutipan dialog yaitu “ tadi
siang,ayah terkena sserangan jantung lagi,sekarang dirumah sakit. Nana
sebaiknya kau pulang,tengok ayahmu”.
e. Haryo : baik,pengertian.
Haryo adalah suami Nana dan beliau
memiliki sifat yang sangat baik dan bijaksana. Hal ini dapat dilihat dalam
kutipan dialog yaitu “ kita bukan si maling kundang, ayah pasti tahu kalau kau
dan Yu ning,sebaik-baiknya anak, maka pulanglah dan rawatlah beliau,sekalipun
kau sering bilang,ayah,kalau sakit cerewetnya luar biasa.
3. Latar : a. latar tempat : dibandara,rumah.
Didalam cerpen
ini menggunakan latar didalam rumah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
kutipan berikut yaitu:
“ saya besok
masih ada pekerjaan, mengapa tidak Yu ning saja?”, “sekarang sudah hampir
subuh,besok malam aku harus ketemu ayah”
b. latar waktu : malam,subuh.
Dalam latar waktu
ini dapat dilihat dalam kutipan dialog berikut “ Mak yem menelponku malam ini, tadi siang,ayah terkena serangan jantung
lagi, sekarang dirumah sakit. Nana sebaiknya kau pulang,tengok ayahmu”.
4. Alur : alur maju
1. Mak yem menelpon Nana untuk segera pulang dan
menjenguk ayahnya yang sedang sakit
2. Nana disuruh kakaknya untuk pergi terlebih
dahulu untuk menjenguk ayahnya
2.1 Nana merasa bahwa memang sejak dulu ayahnya
selalu mempercayai Yu ning untuk selalu mengatur hidupnya ketika ibunya telah
tiada.
3. Yu ning dan suaminaya mengajak Nana untuk
pergi berlibur ke Singapura
4. Nana merasa bahwa ayahnya lebih mencintai Yu
ning daripada nya
4.1 Ayah mengatakan bahwa Yu ning harus berperan
sebagai ibunya karena telah merawat Nana ketika sedang sakit
4.2 Yu ning bisa berlena-lena dengan pacarnya hingga
larut malam sedangkan Nana tidak pernah diizinkan untuk keluar bersama
laki-laki manapun
5. Yu ning menikah dengan dokter Sutomo
6. Yu ning membuka butik yang sekarang sudah
lumayan laku
7. Nana menikah dengan Haryo
8. Yu ning menyuruh Haryo untuk berbisnis dan
meminjamkan uang kepadanya
9. Mak yem kembali menelpon Nana untuk segera
pulang
10. Yu ning menganjurkan Nana untuk menghubungi
travel biro langganannya
11. Nana merasa bersalah karena merasa dirinya dan
Yu ning lebih mementingkan karir daripada ayah kandungnya sendiri
12. Nana memberitahukannya tentang kesombongan Yu
ning terhadapnya
13. Nana dan Yu ning akhirnya sampai ditempat
ayahnya
14. Ayahnya pergi meninggalkan mereka untuk
selama-lamanya.
5. Sudut Pandang : orang ketiga pelaku utama
6. Amanat : janganlah suka menuduh orang terlebih dahulu sebelum mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar